Masalah ini sangat penting diketahui oleh setiap Muslim. Apalagi banyak ditemukan di masyarakat adanya kebiasaan sebagian orang tidak mau shalat lagi ketika dirinya sakit, karena mereka belum tahu caranya, atau sebab-sebab lainnya. Sehingga, ketika datang waktu ajal, mereka mengakhiri hidupnya dalam keadaan meninggalkan shalat.
Lalu "ditebus" dengan fidyah beras 3 liter setiap satu shalat fardhu yang ditinggalkan, yang hal itu "ulamanya" pun tak mengemukakan dalilnya. Ini masalah yang perlu sekali dihindari. Jangan sampai kita mati kecuali dalam keadaan Islam. Artinya, tetap teguh mematuhi semua ajaran Islam semampunya.
Untuk memberikan penjelasan tentang bagaimana cara-cara berthaharah (bersuci) dan shalat, di sini kami kutipkan risalah yang ditulis ulama terkemuka, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin hafidhahullah. Beliau berkata:
"Sesungguhnya bagi orang sakit itu ada hukumnya secara khusus dalam hal bersuci dan shalat. Karena dia dalam keadaan yang (walaupun sakit) tetap dituntut oleh syari'at Islam untuk menjaganya (menjalankan syari'at itu). Sesungguhnya Allah Ta'ala mengutus NabiNya, Muhammad shallallahu alaihi wasalam , dengan al-haniifiyyah as-samhaa' (kemudahan yang longgar) , yang dibangun atas (asas) kelonggaran dan kemudahan. Allah Ta'ala berfirman:
"dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan..." (Al-Hajj: 78).
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesu-karan bagimu." (Al-Baqarah: 185).
"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta'atilah." (At-Taghaabun: 16).
Dan Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda: "Sesungguhnya agama itu mudah." (HR. Al-Bukhari).
Dan beliau shallallahu alaihi wasalam bersabda: "Apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka laksanakanlah dari-padanya semampu kalian." (Muttafaq 'alaih, dan Ahmad).
Berlandaskan kaidah-kaidah yang mendasar inilah maka Allah Ta'ala telah meringankan ibadah orang-orang yang terkena udzur (halangan) sesuai dengan udzur mereka, agar mereka bisa beribadah kepada Allah Ta'ala tanpa kesempitan dan kesulitan. Segala puji bagi Allah.
Cara Thaharah/bersuci bagi orang sakit :
·
Wajib atas orang yang sakit
bersuci dengan air, yaitu berwudhu' karena hadats kecil, dan mandi karena
hadats besar.
·
Kalau dia tidak bisa
bersuci dengan air karena lemahnya, atau takut akan tambah sakit, atau akan
memperlambat sembuhnya, maka hendaknya ia bertayammum ( baik untuk hadats kecil
maupun hadats besar).
·
Cara bertayammum, yaitu
dengan menepuk bumi/debu yang suci dengan kedua tangannya satu kali tepukan,
lalu mengusap wajahnya dengan kedua tanganya, kemudian mengusap dua tapak
tangannya secara silang (yang kanan menghadap yang kiri dan sebaliknya), yang
satu terhadap yang lain. Apabila ia tidak mampu bertayammum sendirian maka
ditayammumi oleh orang lain, maka orang itu menepuk bumi/ debu yang suci dengan
kedua tangannya, dan mengusapkan dengan tangannya ke wajah si sakit dan kedua
tapak tangan si sakit, sebagaimana kalau si sakit tidak mampu untuk berwudhu sendiri
maka hendaklah diwudu'i oleh orang lain.
·
Dan dibolehkan bertayammum
dari dinding atau sesuatu yang lain yang suci lagi berdebu. Maka apabila
dinding itu dicat dengan sesuatu yang bukan jenis tanah seperti cat maka jangan
bertayammum darinya kecuali kalau ada debunya.
·
Apabila tidak ada dinding
dan tidak ada sesuatu lainnya yang berdebu maka tidak apa-apa kalau meletakkan
debu di sapu tangan atau wadah, dan bertayammum darinya.
·
Apabila ia bertayammum
untuk shalat dan ia masih suci (belum batal) sampai waktu shalat berikutnya,
maka hendaknya ia shalat dengan tayammum pertama itu tadi dan tidak usah
mengulangi tayammum, karena ia masih dalam keadaan suci (belum batal), dan
belum ada hal yang membatalkannya.
·
Wajib atas si sakit
membersihkan badannya dari najis-najis. Apabila ia tidak mampu, hendaklah ia
shalat dalam keadaannya itu saja, dan shalatnya sah tanpa harus mengulanginya.
·
Wajib atas orang sakit
untuk menyucikan pakaiannya dari najis-najis atau mencopotnya, dan memakai
pakaian yang suci. Apabila tidak mampu, hendaklah ia shalat dalam keadaannya
itu saja, shalatnya sah, dan tidak ada pengulangan atasnya.
·
Wajib atas orang sakit
shalat di tempat yang suci. Kalau dia di atas tikar/ alas yang najis maka
hendaklah dicuci atau diganti dengan tikar/ alas yang suci atau dilapisi di
atasnya dengan sesuatu yang suci. Kalau tidak mampu maka hendaklah ia shalat di
atas alas yang ia tempati itu, shalatnya sah, dan tidak ada pengulangan
atasnya.
Cara shalat orang sakit :
·
Wajib atas orang sakit
shalat fardhu dengan berdiri walaupun condong atau bersandar ke dinding atau
tiang atau tongkat.
·
Apabila ia tidak mampu
shalat dengan berdiri maka dengan duduk, dan yang afdhal (lebih utama)
hendaknya ia bersila pada posisi (yang seharusnya) berdiri dan ruku'; dan duduk
iftirasy ( seperti ketika duduk tahiyyat awal) pada giliran sujud.
·
Apabila ia tidak mampu
shalat dengan duduk maka shalat dengan berbaring di atas lambungnya (tidur
miring) dengan menghadap ke Qiblat, dan lambung kanan lebih utama daripada
lambung kiri. Apabila ia tidak bisa menghadap ke Qiblat maka shalat ke arah
mana yang ia sedang hadapi, dan tidak ada pengulangan atasnya.
·
Kalau ia tidak mampu shalat
dengan tidur miring maka shalat dengan telentang: dua kakinya ke arah Qiblat.
Dan yang afdhal (lebih utama) hendaknya ia mengangkat kepalanya sedikit untuk
menghadap ke Qiblat. Apabila ia tidak mampu untuk mengarahkan kakinya ke Qiblat
maka ia shalat ke arah mana (saja) sesuai dengan keadaannya tanpa harus
mengulanginya.
·
Wajib bagi si sakit agar
ruku' dan sujud. Maka apabila ia tidak mampu, hendaklah ia berisyarat ruku'
-sujud dengan kepalanya, dan menjadikan isyarat untuk sujud lebih rendah
daripada ruku'. Apabila ia mampu ruku' tapi tidak mampu sujud, maka ia ruku'
dengan keadaan ruku' dan sujud dengan berisyarat . Dan apabila ia mampu sujud
tetapi tidak mampu ruku', maka ia sujud dengan keadaan sujud, dan ruku' dengan
isyarat.
·
Apabila ia tidak bisa
berisyarat dengan kepalanya dalam ruku' dan sujud, maka ia berisyarat dengan
matanya, memejam sedikit untuk ruku', dan memejam lebih banyak untuk sujud.
Adapun isyarat dengan jari-jari seperti yang dilakukan oleh sebagian
orang-orang sakit itu maka tidak benar/ tidak shahih, dan kami tidak mengetahui
adanya (sumber) asalnya itu dari Al-Quran maupun As-Sunnah, dan tidak juga dari
pendapat-pendapat ahli ilmu (ulama).
·
Apabila ia tidak mampu
berisyarat dengan kepala dan tidak pula dengan mata, maka ia shalat dengan
hatinya lalu berniat ruku' dan sujud, berdiri, dan duduk dengan hatinya. Dan
bagi setiap orang (tergantung) apa yang ia niatkan.
·
Wajib atas orang sakit agar
shalat pada setiap waktunya sesuai dengan kemampuannya seperti tersebut di atas
perinciannya, dan tidak boleh mengakhirkan dari waktunya.
·
Apabila ia kesulitan
mengerjakan setiap shalat pada waktunya maka ia berhak menjama' antara dhuhur
dan ashar, dan antara maghrib dan isya' dengan jama' taqdim (Dhuhur dan ashar
dilakukan pada waktu dhuhur, maghrib dan isya' dilakukan pada waktu maghrib)
atau ta'khir (sebaliknya dari taqdim, pada waktu ashar untuk dhuhur dan ashar,
dan pada waktu isya' untuk maghrib dan isya') sesuai dengan mana yang mudah
baginya; kalau ia mau maka mendahu-lukan 'ashar beserta dhuhur, dan kalau mau
ia mengakhirkan dhuhur bersama ashar, dan kalau mau ia mendahulukan isya'
bersama maghrib, dan kalau mau mengakhirkan maghrib bersama isya'.
Adapun shalat fajar (shubuh) maka tidak dijama' dengan shalat sebelumnya dan tidak pula dengan shalat sesudahnya, karena waktunya terpisah dari shalat yang sebelumnya dan dari yang sesudahnya...
Allah Ta'ala berfirman: "Dirikanlah shalat dari sesudah mata-hari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikan pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)." (Al-Isra': 78).
Demikian risalah ini ditulis oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-'Utsaimin pada
14/1/1400 H. Adapun shalat fajar (shubuh) maka tidak dijama' dengan shalat sebelumnya dan tidak pula dengan shalat sesudahnya, karena waktunya terpisah dari shalat yang sebelumnya dan dari yang sesudahnya...
Allah Ta'ala berfirman: "Dirikanlah shalat dari sesudah mata-hari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikan pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)." (Al-Isra': 78).
Dikutip dari kitab Akhil Mariidh oleh Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdullah As-Sad-haan, Daru Thibah, Riyadh, cetakan II, 1412 H. (Hartono).